Selasa, 26 April 2011

HIV/AIDS


FARMAKOTERAPI TERAPAN
HIV / AIDS

HIV/AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi dari virus HIV (Human ImmunoDeficiency Virus) . dimana virus HIV ini menyerang sel T untuk bereplikasi secara tidak terkendali. AIDS merupakan tahan akhir dari infeksi HIV. Perbedaan HIV (+) dengan AIDS adalah jika dinyatakan HIV (+) maka artinya tubuh telah terinfeksi virus HIV tetapi belum ada syndrome AIDS. Sedangkan jika di diagnosa AIDS maka sudah pasti bahwa virus HIV (+) dan telah terjadi syndrome AIDS.
Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vaginal dan air susu ibu. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya / hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkiti penyakit infeksi.
AIDS masih merupakan penyebab kematian no.4 di seluruh dunia. Prevalensi HIV/AIDS pada tahun 2003 ± 40 juta orang di seluruh dunia dan terbanyak terjadi di afrika.
Cara penularannya dapat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV, yaitu dapat melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual, selain itu dapat melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah, transmisi ibu hamil ke janin dan pengguna narkotika suntik.
Berbeda dengan infeksi virus lain, infeksi HIV bersifat permanen karena virus ini sukar sekali dimusnahkan. Virus dapat bersembunyi di sel-sel tubuh terutama dalam CD4+ memory cells dan di SSP tanpa dapat terdeteksi dan bersifat asimptomatis selama bertahun-tahun lamanya (virus laten). Virus laten ini tidak dapat dimusnahkan dengan obat, bila sistem imun suatu saat melemah virus laten dapat berubah menjadi aktif. Selain itu HIV mampu bermutasi berulangkali secara spontan dengan adakalanya membentuk varian yang lebih ganas (virulen). Serotipe HIV dibagi menjadi dua, yaitu :
1.        HIV-1 : tipe HIV ini paling banyak terjadi di dunia, dimana terjadi karena infeksi silang dari virus HIV yang ada pada primata dan simpanse.
2.        HIV-2 : tipe HIV ini hanya muncul di negara-negara afrika. HIV-2 ini kurang lancar penularannya baik melalui hubungan seksual maupun dari ibu ke janin, dibanding HIV-1.
Pada intinya tipe HIV-1 dan HIV-2 hanya berbeda pada daya virulensinya saja dimana setiap virus memiliki susunan gen yang berbeda dan perbedaan pada penyebaran tiap tipe HIV ini.
            Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV, karena virus ini mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
            Patogenesis penyakit ini dimulai dari virus HIV memasuki sel dengan berikatan pada molekul CD4+ (Cluster Designation 4) dan reseptor kemokin. Sekali virus HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan di transkripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzim reverse transkriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA intergrasi dari virus HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau tahun tanpa memproduksi virus baru. Itu sebabnya infeksi HIV pada seseorang dapat bersifat laten dan virus terhindar dari sistem hospes. Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi sel T CD4 yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga. Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasi menjadi protein virus. Karena DNA dari HIV bergabung / berintegrasi dengan genom sel induknya (limfosit T-helper) maka setiap kali sel induk berkembang biak, genom HIV selalu ikut memperbanyak diri dan tetap dibawa oleh sel induk ke generasi berikutnya. Sel CD4+ akan menjadi pusat replikasi virus HIV, protein yang sesuai untuk virus berasal dari protein rantai panjang, yang akan dipotong-potong oleh enzim protease sehingga protein menjadi lebih pendek sesuai dengan kebutuhan virus. Skema patogenesis :
            Jalannya penyakit / pola klinis HIV dapat dibedakan menjadi 3 fase (stage) sebagai berikut :
v  Stage 1 : orang yang terkena menjadi seropositif, artinya setelah 6 bulan di dalam darahnya dapat di deteksi adanya virus HIV secara tidak langsung. Pada sebagian kecil penderita beberapa hari setelah infeksi, timbul gejala flu berat ± 1 minggu.
v  Stage 2 : setelah serokonversi, sebagian besar pasien mengalami periode asimptomatis yang lebih lama sebelum timbul gejala klinis. Pada stage ini sistem imun merangkap dan menyimpan semua virus pada kelenjar limfa, dimana replikasi terus berlangsung. Jaringan yang terinfeksi dan HIV yang lolos dimusnahkan oleh sel T-killers dan antibodi. Semakin lama banyak virus HIV yang dapat meloloskan diri dan masuk ke sirkulasi dan banyak limfosit Tyang mati sedang sistem imum menjadi semakin lemah.
v  Stage 3 (simptomatis dan AIDS) : dengan berkembangnya infeksi HIV maka pasien menjadi simptomatis. Beberapa gejala tidak spesifik, tetapi gejala oportunistik dapat dianggap sebagai karakteristik AIDS. Pada stage ini jumlah virus HIV di dalam darah (viral load) menjadi besar dan jumlah limfosit-T helpercells (CD4+) turun dari ± 1000/mm3  menjadi ± 200/mm3 .
Gejala HIV/AIDS berupa terjadinya superinfeksi hebat dengan fungi (candidiasis) dan virus (herpes). Karena sistem imun penderita sudah sangat lemah sehingga berbagai infeksi oportunistik dapat menghinggapi, misalnya TBC, pneumocystis serta tumor-tumor ganas dan akhirnya berakibat kematian.
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk mendiagnosa HIV dilakukan dengan pemeriksaan serologi yaitu dengan cara mendeteksi antibodi anti HIV melalui metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif sebanyak 2 kali (reaktif) dari 3 tes yang dilakukan, kemudian sampel yang positif di konfirmasi dengan Western Blot. Serokonversi (menentukan antibodi anti HIV) terjadi antara 1-3 bulan setelah infeksi primer. RNA HIV plasma dapat dikuantifikasi = jumlah virus (viral load/ VL) yang tinggi menunjukkan prognosis yang buruk. Selain itu juga jumlah CD4+ mengalami penurunan, biasanya menunjukkan nilai CD4+ <200/mm3 atau CD4+ >200/mm3  disertai infeksi ganas. Namun saat ini WHO telah menetapkan jika nilai CD4+ <350/mm3 maka pasien telah terdiagnosis HIV, hal inibertujuan untuk meminimalkan angka kematian.
Tatalaksana terapi HIV/AIDS bertujuan untuk :
v  Menekan replikasi virus HIV / menekan progres penyakit
v  Meningkatkan CD4+ dan menurunkan VL
v  Mencegah terjadinya infeksi oportunistik
Jika telah menggunakan terapi anti retroviral (ART) maka terapi harus dilakukan seumur hidup sehingga diagnosa harus ditegakkan dengan pasti.
Prinsip pengobatan dengan ART adalah dengan menggunakan regimen terapi kombinasi 3 atau lebih ART. Obat anti retroviral di bagi dalam 3 golongan utama yaitu :
1.    Entry Inhibitor (pemghambat masuknya virus) : mekanisme kerjanya dengan cara berikatan dengan sub unit GP 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke sel target dihambat. Obat : Enfuviride.
2.    Reverse Transcriptase Inhibitor, dibagi ke dalam 2 kelompok :l
v Nucleocide and Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTIs) (analog nukleoside) : target aksinya adalah enzim reverse transkriptase, dengan penghambatan kerja enzim maka pembentukan DNA virus diblokir dan replikasi dihentikan. Obat : Zidovudine (AZT), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC).
v Non-Nucleoside Reverse Transciptase Inhibitor (NNRTIs) : obat ini memiliki struktur kimiawi yang berbeda, jadi bukan analog nukleoside.  Mekanisme kerjanya dengan mengikat secara langsung pada enzim reverse transkriptase dan memblok pembentukan DNA. Selain itu di dalam DNA virus yang sudah terbentuk, obat ini menghambat perpanjangan selanjutnya dari rantai DNA (polimerisasi). Obat : Evapirenz (EFV), Nevirapin (NVP).
3.    Protease Inhibitor (PI) : bekerja pada fase akhir dari replikasi virus dan efeknya terhadap HIV lebih kuat daripada NRTIs/NNRTIs. PI mampu menghentikan replikasi dari sel yang sudah terinfeksi. PI menghamabt enzim protease yang memecah poliprotein besar yang terbentuk oleh DNA viral menjadi protein-protein yang lebih kecil untuk digunakan bagi pembentukan virus baru, sehingga pembentukan virus baru dapat dihambat seluruhnya. Obat : Nelvinafir (NFV), Ritonavir (RTV), Saquinavir, Lopinavir (LPV).
Regimen terapi ART untuk pertama kali dilakukan dengan  kombinasi 3 obat, kombinasi yang paling umum untuk memulai pengobatan yaitu 2 kombinasi NRTIs dengan salah satunya NNRTIs. Regimen terapi ada 3 basis, antara lain :
v Basis NNRTIs : Evapiren (NNRTIs) + Zidovudine (NRTIs) + Lamivudine (NRTIs)
v Basis PI : Lopinavir (PI) + Zidovudine (NRTIs) + Lamivudine (NRTIs)
v Basis Triple NRTIs : Abacavir + Zidovudine (NRTIs) + Lamivudine (NRTIs)
Pertimbangan pergantian terapi dilakukan dengan melihat : (1) efektivitas obat (dilihat dari nilai VL dan CD4+ setelah 6 pengobatan); (2) profil ESO : pasien tidak dapat mentoleransi ESO, mungkin saja VL mengalami penurunan namun ESO tidak dapat ditolelir maka terapi dapat diganti.
Sebelum terapi mulai dilakukan maka perlu dilakukan evaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui kesiapan pasien untuk menerima terapi, dengan cara : (1) mengevaluasi pengetahuan pasien tentang penggunaan obat ART; (2) pasien harus diinformasikan tentang ESO dari ART; (3) memastikan adanya dukungan dari orang-orang terdekat pasien; (4) memastikan adanya laboratorium yang memadai untuk monitoring perkembangan penyakit; (5) adanya layanan kefarmasian yang memadai untuk menjamin ketersediaan ART dan obat-obat infeksi.
Monitoring keberhasilan terapi dilakukan dengan melihat beberapa kriteria diantaranya :
1.    Kriteria imunologik : dengan melihat nilai CD4+ , seharusnya mengalami peningkatan setelah mendapat terapi.
2.    Kriteria virologik : dengan melihat jumlah VL, seharusnya menurun / undetectable setelah 6 bulan terapi (> 50.000 copies/ml pada pasien dewasa dan >500.000 copies/ml pada pasien anak-anak)
3.    Kriteria klinik : melalui peningkatan BB, berkurangnya gejala, menurunnya frekuensi/beratnya infeksi oportunistik
4.    Monitoring ESO ART : jika ESO ringan maka obat diteruskan dengan harapan dapat segera ditolelir, jika ESO menetap maka disarankan untuk konsultasi ke dokter dan jika ESO berat maka terapi ART dihentikan atau diganti terapi ART lainnya.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa obat antiretroviral dapat digunakan selama kehamilan. Obat-obatan dapat digunakan untuk mengurangi viral load wanita efektif dibawah deteksi. Ini juga sangat mengurangi resiko bayi terinfeksi.
Penanganan HIV pada neonatus yaitu 8 jam setelah kelahiran diberi monoterapi zidovudine (NRTIs) kemudian dimonitor CD4 dan viral load-nya. Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat dicegah selama periode before birth, during birth dan post partum (after birth).  
Perawatan yang paling efektif untuk anak dengan HIV adalah ART. Hal ini memerlukan beberapa obat antiretroviral (ARV) dilakukan setiap hari. Pengobatan antiretroviral mengurangi penyakit dan kematian diantara anak-anak yang hidup dengan HIV. Dalam satu penelitian di Brazil, tiga perempat anak HIV-positif yang menerima ART masih bisa bertahan hidup setelah mengikuti 4 tahun periode.  

ngina Pektoris


ANGINA PEKTORIS

            Angina pektoris adalah sekumpulan syndrome klinis yang ditandai dengan nyeri dada kiri pada bagian substernal (dibawah rongga dada) yang dapat meluas ke bagian lengan kiri, kedua bahu hingga rahang. Angina hanya dapat digambarkan dengan gejala klinis dan bukan dari data laboratorium.
            Gejala-gejala angina digambarkan berupa rasa terikat di dada sehingga menimbulkan rasa nyeri pada dada kiri dan sering menjalar ke lengan, dimana serangan sering di presipitasi oleh aktivitas. Nyeri yang disebabkan oleh angina dapat pulih dengan istirahat dan pemberian nitrat.
            Nyeri pada angina dapat dibedakan berdasarkan durasi, kualitas nyeri, lokasi, penyebab nyeri dan penanganannya. Nyeri yang terjadi pada angina disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara suplai O2 dengan kebutuhan O2 di miokardium (kebutuhan O2 meningkat sedangkan suplai O2 menurun). Hal ini terjadi pada saat beban kerja atau aktivitas meningkat, sehingga perlu suplai O2 yang banyak namun terjadi ketidakseimbangan yang berakibat pada terjadinya angina. Keluhan nyeri muncul karena beralihnya jalur metabolisme O2, dari aerob beralih ke anaerob. Ketika suplai O2 ke miokardium menurun, jantung tidak boleh berhenti untuk bermetabolisme maka metabolisme berlangsung secara anaerob, akibatnya terjadi penumpukan asam laktat karena produk-produk sampah yang dilepaskan pada proses kontraksi jantung menumpuk di jaringan yang kekurangan pasokan darah, dan terjadi penurunan pH intrasel sehingga menimbulkan nyeri angina yang khas.
            Secara patofisiologi angina pektoris terjadi karena penyempitan pada pembuluh darah di arteri coroner (pembuluh darah di jantung) yang fungsinya mensuplai darah ke daerah jantung itu sendiri. Dengan adanya penyempitan / penciutan satu / lebih arteri koroner akan menyebabkan penyaluran darah ke otot jantung menjadi berkurang.
            Penyebab penyempitan yang paling umum adalah karena adanya arterosklerosis (penumpukan plak ateroma pada endotelial arteri koroner) yang menyebabkan lumen arteri menyempit dan terutama di picu pada kondisi hiperlipidemia. Pasien dengan hiperlipidemia, tanpa faktor resiko lainnya memiliki peluang yang besar untuk terjadinya arterosklerosis yang kemudian akan berkembang menjadi iskemia dan memicu terjadinya Coronary Arthery Disease (CAD). Selain arterosklerosis, penyebab lain dari angina pektoris adalah spasme (kejang), kondisi anemia berat dan aorta insuficiency.
            Faktor resiko yang dapat memicu terserang angina di bagi menjadi 2 yaitu :
a)    Faktor resiko yang dapat dimodifikasi, seperti obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, merokok, emosi, diabetes mellitus, kurang latihan jasmani.
b)   Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi, seperti faktor keturunan dan jenis kelamin. Laki-laki memiliki angka insidensi yang tinggi terserang angina.
c)    Faktor presipitasi yang dapat menimbulkan serangan angina, antara lain adalah emosi, stres, kerja fisik yang berat, hawa dingin, hawa terlalu panas, makan terlalu banyak, merokok dan kemacetan lalu lintas. Faktor-faktor tersebut harus dihindari oleh pasien.
Kaitan merokok (cigarette) dengan angina adalah karena bahaya rokok yang banyak mengandung senyawa radikal bebas (senyawa oksidator), dimana jika jumlahnya berlebihan maka akan mempercepat reaksi oksidasi di dalam tubuh dan jika radikal bebas ini bertemu dengan lipid maka akan teroksidasi dan memicu terbentuknya plak di arteri.
       Secara klinis dikenal 3 jenis angina pektoris, antara lain :
1)   Angina klasik/stabil
Ketidakseimbangan suplai O2 ke miolardium dikarenakan adanya sumbatan anatomik yaitu berupa arterosklerosis pada arteri koroner sehingga aliran koroner tidak dapat memenuhi kebutuhan O2 jantung yang meningkat. Sumbatan ini bersifat parsial (Partial Coronary Arterosklerosis). Angina jenis ini sering ditemukan dan umumnya terjadi akibat kerja fisik yang berat, peningkatan emosi dan terkejut. Serangan angina stabil ini dapat dibedakan berdasarkan karakteristik serangan yang lebih stabil (dapat diprediksi) dan dapat dibedakan berdasarkan tipikal dari arteosklerosisnya, dimana plak ateromanya instabil (tidak melekat di endotelial) sehingga plak tersebut dapat lepas ke aliran darah yang sempit lalu menstimulasi timbulnya trombus kemudian berubah menjadi trombosis.
2)   Angina tidak stabil
Berdasarkan karakteristik serangan, angina jenis ini timbul pada keadaan biasa / istirahat (lebih sulit diprediksi), sedangkan berdasarka tipe arterosklerosisnya juga bersifat parsial, tetapi plak ateromanya bersifat lebih stabil (melekat di endotelial) sehingga harus dihambat progress perkembangan plak.
3)   Angina Varian / Prinzmetal
Angina jenis ini disebabkan bukan karena arterosklerosis tetapi karena vasospasme koroner (sumbatan fungsional) yang mengakibatkan berkurangnya suplai O2 ke jantung. Penyebabnya adalah spasme (kejang), kondisi anemia berat dan aorta insuficiency.
            Serangan nyeri dada pada angina umumnya berlangsung 1-5 menit, walaupun perasaan tidak enak di dada masih dapat terasa setelah sakit dada hilang. Bila nyeri dada berlangsung >20 menit, pasien mungkin mendapat serangan infark miokard akut dan bukan disebabkan angina pektoris biasa. Pada pasien angina dapat pula timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah dan sakit dada yang disertai keringat dingin.
Jika arterosklerosis terjadi di arteri perifer (selain jantung dan otak) seperti pada tangan, kaki maka akan menyebabkan terjadinya gangren (kematian jaringan). Sedangkan jika arterosklerosis terjadi di ginjal akan terjadi gagal ginjal dan jika arterosklerosis terjadi di cerebral akan nenyebabkan stroke iskemia.
            Coronary Artery Disease (CAD) memiliki 2 manifestasi klinik, yaitu :
a)    Angina pektoris (nyeri dada hanya sebentar)
b)   Infark miokard (durasi nyeri lama)
Arterosklerosis yang terjadi di arteri kororner dapat bersifat parsial (memunculkan angina) dan bersifat komplit (memunculkan infark)/tersumbat total.
            Tujuan terapi angina pektoris antara lain :
1)   Menghilangkan nyeri dada akut
2)   Mencegah kekambuhan serangan
3)   Meningkatkan kualitas hidup
Hal ini dapat dicapai dengan menambah suplai darah ke daerah yang mengalami iskemia dan mengurangi konsumsi O2 jantung dengan pemberian obat, atau jika tidak dapat dikendalikan dapat dilakukan tindakan intervensi untuk melebarkan daerah penyempitan dengan menggunakan balondilatasi atau tindakan pembedahan.
Terapi non farmakologi pada angina pektoris stabil yang tidak dapat dikontrol oleh obat seringkali dilakukan teknik khas untuk menanggulangi penyempitan arteri koroner/revaskularisasi, antara lain :
1)   Balondilatasi / rekanalisasi (Percutaneus Transarterial Coronary Angioplasty/PTCA)
2)   Bedah Bypass (Coronary Artery Bypass Grafting/CABG)
3)   PCI (Primmary Coronary Intervention)
Penghematan penggunaan O2 dapat dicapai dengan menghindari atau mengurangi aktivitas fisik yang membebani jantung, menghindari perubahan suhu drastis atau berjalan dengan lambung penuh.
            Prinsip umum tata laksana terapi Coronary Artery Disease (CAD) sering dilakukan dengan akronim ABCDE, yaitu :
A : Anti angina dan Aspirin (anti platelet)
B : β-bloker dan Blood pressure
C : Cholesterol dan Cigarette distension
D : Diabetes dan Diet
E : Exercise dan Education
            Keadaan iskemia jantung pada angina pektoris dapat diobati dengan vasodilator koroner yang merupakan lini pertama dan obat-obat yang mengurangi kebutuhan jantung akan O2 (β-bloker dan CCB). Terapi angina pektoris juga dapat ditambah dengan pemberian anti platelet/ anti trombotik (untuk angina stabil tidak perlu anti platelet). Anti trombotik ini penting untuk terapi angina karena dapat mencegah agregasi (berkumpulnya) platelet/agregasi trombosit yang dapat menyumbat aliran darah dan untuk menghambat progress arterosklerosis dapat digunakan obat-obat antilipemika (fibrat/statin).
Anti trombotik ini berbeda dengan obat-obat trombolitik, dimana trombolitik berfungsi melisiskan trombus yang sudah terbentuk, obat ini biasanya digunakan pada terapi infark miokard. Uraian obat-obat angina adalah sebagai berikut :
Ø  Vasodilator Koroner = memperlebar arteri jantung, melancarkan masuknya darah dan O2, dengan demikian meringankan beban jantung. Pada serangan akut obat pilihan pertama adalah golongan nitrat short acting (nitrogliserin 0,4-1 mg) sublingual (obat ini mengalami first pass effect sehingga untuk menjaga ketersediaan hayati digunakan sublingual) dengan onset cepat tetapi durasinya singkat. Nirogliserin berkhasiat vasodilatasi berdasarkan terbentuknya nirogen oksida (NO) dari nitrat di sel-sel dinding pembuluh. NO ini bekerja dengan merelaksasi otot sehingga pembuluh darah vena mendilatasi secara langsung akibatnya tekanan darah turun dan beban kerja jantung berkurang, arteri koroner juga diperlebar. Golongan nitrat tidak dapat digunakan jangka panjang karena akan terjadi toleransi nitrat. Untuk menghindarinya harus diadakan masa bebas nitrat ± 10 jam/hari. Terapi sebaiknya jangan dihentikan secara mendadak melainkan berangsur-angsur untuk mencegah reaksi penarikan. Untuk terapi interval (pemeliharaan) guna mengurangi frekuensi serangan digunakan nitrat long acting (isosorbid mono/di-nitrat dosis 20 mg 2-3 kali sehari), mekanisme kerjanya dengan beubah menjadi nitogen oksida yang akan mengaktivasi enzim guanilsiklase dan menyebabkan kadar cGMP di sel otot polos meningkat dan menimbulkan vasodilatasi.  Dapat juga diterapi dengan antagonis Ca (CCB) yaitu bisa digunakan diltiazem dan verapamil.
Ø  Β-bloker = digunakan pada terapi interval angina tidak stabil (jangka panjang), dengan pilihan utama golongan kardioselektif (atenolol 1-2 dd 100 mg, metoprolol pagi hari 100 mg, bisoprolol, acebutolol 400 mg/hari pagi hari, carvedilol 12,5 mg/hari). Mekanisme kerjanya dengan memperlambat pukulan jantung/kontraksi (bradikardi)/efek inotropik negatif sehingga mengurangi kebutuhan O2 miokardium. Β-bloker dapat meningkatkan peredarah darah (perfusi) dari bagian yang kekurangan darah karena penurunan frekuensi pukulan jantung dan dapat memperpanjang waktu diastolik.
Ø  Antagonis Ca (Calsium Channels Bloker/CCB) = digunakan pada terapi pemeliharaan dan pada angina variant yang disebabkan adanya vasospasme (kejang pembuluh darah). Obat ini memblokade Calcium-channels di otot polos arteri dan menimbulkan relaksasi dan vasodilatasi perifer. Tekanan darah arteri dan frekuensi  jantung menurun (kronotrop negatif) serta penggunaan O2 pada saat aktivitas juga menurun. Generasi pertama antagonis Ca yang digunakan pada terapi angina terdiri dari diltiazem dosis 3-4 dd 60 mg (golongan benzotiazepin), verapamil (derivat papaverin) dosis 1-2 dd 240 mg (slow release), dan nifedipin dosis 3-4 dd 10 mg po (dihidropiridin). Diltiazem punya efek vasodilatasi koroner yang kuat dan vasodilatasi perifer yang lemah. Dan sebaliknya untuk nifedipin dan verapamil.
Jika pasien sudah mengalami infark miokard maka terapi utamanya adalah revaskularisasi (melancarkan kembali aliran darah), yang dapat ditempuh dengan cara terapi non farmakologi dengan tindakan PCI, PTCA dan CABG serta terapi farmakologinya dengan pemberian trombolitik (untuk melisiskan trombus) yang diberikan pada 6 jam pertama setelah pasien terkena serangan (setelah 6 jam pemberian trombolitik tidak berguna). Contoh obat : ateplase, streptokinase dan urokinase.
Monitoring yang dilakukan setelah terapi infark antara lain : monitoring frekuensi serangan/kekambuhan, monitoring Drug related problem yang mungkin terjadi, monitoring terhadap data-data objektif pasien seperti tekanan darah, ada tidaknya perdarahan, heart rate, respiratory rate/RR, kadal LDL, kolesterol dan trigliserid dan monitoring profil EKG.
Evaluasi hasil terapi harus menunjukkan perbaikan gejala, perbaikan faktor resiko yang dapat dimodifikasi (harus ada perbaikan dalam 2-4 minggu terapi) dan dapat juga dilakukan ETT (Exercise Tolerance Stress Testing) dan EKG untuk membantu mengevaluasi hasil terapi.