FARMAKOTERAPI TERAPAN
HIV / AIDS
HIV/AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi dari virus HIV (Human ImmunoDeficiency Virus) . dimana virus HIV ini menyerang sel T untuk bereplikasi secara tidak terkendali. AIDS merupakan tahan akhir dari infeksi HIV. Perbedaan HIV (+) dengan AIDS adalah jika dinyatakan HIV (+) maka artinya tubuh telah terinfeksi virus HIV tetapi belum ada syndrome AIDS. Sedangkan jika di diagnosa AIDS maka sudah pasti bahwa virus HIV (+) dan telah terjadi syndrome AIDS.
Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vaginal dan air susu ibu. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya / hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkiti penyakit infeksi.
AIDS masih merupakan penyebab kematian no.4 di seluruh dunia. Prevalensi HIV/AIDS pada tahun 2003 ± 40 juta orang di seluruh dunia dan terbanyak terjadi di afrika.
Cara penularannya dapat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV, yaitu dapat melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual, selain itu dapat melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah, transmisi ibu hamil ke janin dan pengguna narkotika suntik.
Berbeda dengan infeksi virus lain, infeksi HIV bersifat permanen karena virus ini sukar sekali dimusnahkan. Virus dapat bersembunyi di sel-sel tubuh terutama dalam CD4+ memory cells dan di SSP tanpa dapat terdeteksi dan bersifat asimptomatis selama bertahun-tahun lamanya (virus laten). Virus laten ini tidak dapat dimusnahkan dengan obat, bila sistem imun suatu saat melemah virus laten dapat berubah menjadi aktif. Selain itu HIV mampu bermutasi berulangkali secara spontan dengan adakalanya membentuk varian yang lebih ganas (virulen). Serotipe HIV dibagi menjadi dua, yaitu :
1. HIV-1 : tipe HIV ini paling banyak terjadi di dunia, dimana terjadi karena infeksi silang dari virus HIV yang ada pada primata dan simpanse.
2. HIV-2 : tipe HIV ini hanya muncul di negara-negara afrika. HIV-2 ini kurang lancar penularannya baik melalui hubungan seksual maupun dari ibu ke janin, dibanding HIV-1.
Pada intinya tipe HIV-1 dan HIV-2 hanya berbeda pada daya virulensinya saja dimana setiap virus memiliki susunan gen yang berbeda dan perbedaan pada penyebaran tiap tipe HIV ini.
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV, karena virus ini mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
Patogenesis penyakit ini dimulai dari virus HIV memasuki sel dengan berikatan pada molekul CD4+ (Cluster Designation 4) dan reseptor kemokin. Sekali virus HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan di transkripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzim reverse transkriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA intergrasi dari virus HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau tahun tanpa memproduksi virus baru. Itu sebabnya infeksi HIV pada seseorang dapat bersifat laten dan virus terhindar dari sistem hospes. Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi sel T CD4 yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga. Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasi menjadi protein virus. Karena DNA dari HIV bergabung / berintegrasi dengan genom sel induknya (limfosit T-helper) maka setiap kali sel induk berkembang biak, genom HIV selalu ikut memperbanyak diri dan tetap dibawa oleh sel induk ke generasi berikutnya. Sel CD4+ akan menjadi pusat replikasi virus HIV, protein yang sesuai untuk virus berasal dari protein rantai panjang, yang akan dipotong-potong oleh enzim protease sehingga protein menjadi lebih pendek sesuai dengan kebutuhan virus. Skema patogenesis :
Jalannya penyakit / pola klinis HIV dapat dibedakan menjadi 3 fase (stage) sebagai berikut :
v Stage 1 : orang yang terkena menjadi seropositif, artinya setelah 6 bulan di dalam darahnya dapat di deteksi adanya virus HIV secara tidak langsung. Pada sebagian kecil penderita beberapa hari setelah infeksi, timbul gejala flu berat ± 1 minggu.
v Stage 2 : setelah serokonversi, sebagian besar pasien mengalami periode asimptomatis yang lebih lama sebelum timbul gejala klinis. Pada stage ini sistem imun merangkap dan menyimpan semua virus pada kelenjar limfa, dimana replikasi terus berlangsung. Jaringan yang terinfeksi dan HIV yang lolos dimusnahkan oleh sel T-killers dan antibodi. Semakin lama banyak virus HIV yang dapat meloloskan diri dan masuk ke sirkulasi dan banyak limfosit Tyang mati sedang sistem imum menjadi semakin lemah.
v Stage 3 (simptomatis dan AIDS) : dengan berkembangnya infeksi HIV maka pasien menjadi simptomatis. Beberapa gejala tidak spesifik, tetapi gejala oportunistik dapat dianggap sebagai karakteristik AIDS. Pada stage ini jumlah virus HIV di dalam darah (viral load) menjadi besar dan jumlah limfosit-T helpercells (CD4+) turun dari ± 1000/mm3 menjadi ± 200/mm3 .
Gejala HIV/AIDS berupa terjadinya superinfeksi hebat dengan fungi (candidiasis) dan virus (herpes). Karena sistem imun penderita sudah sangat lemah sehingga berbagai infeksi oportunistik dapat menghinggapi, misalnya TBC, pneumocystis serta tumor-tumor ganas dan akhirnya berakibat kematian.
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk mendiagnosa HIV dilakukan dengan pemeriksaan serologi yaitu dengan cara mendeteksi antibodi anti HIV melalui metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif sebanyak 2 kali (reaktif) dari 3 tes yang dilakukan, kemudian sampel yang positif di konfirmasi dengan Western Blot. Serokonversi (menentukan antibodi anti HIV) terjadi antara 1-3 bulan setelah infeksi primer. RNA HIV plasma dapat dikuantifikasi = jumlah virus (viral load/ VL) yang tinggi menunjukkan prognosis yang buruk. Selain itu juga jumlah CD4+ mengalami penurunan, biasanya menunjukkan nilai CD4+ <200/mm3 atau CD4+ >200/mm3 disertai infeksi ganas. Namun saat ini WHO telah menetapkan jika nilai CD4+ <350/mm3 maka pasien telah terdiagnosis HIV, hal inibertujuan untuk meminimalkan angka kematian.
Tatalaksana terapi HIV/AIDS bertujuan untuk :
v Menekan replikasi virus HIV / menekan progres penyakit
v Meningkatkan CD4+ dan menurunkan VL
v Mencegah terjadinya infeksi oportunistik
Jika telah menggunakan terapi anti retroviral (ART) maka terapi harus dilakukan seumur hidup sehingga diagnosa harus ditegakkan dengan pasti.
Prinsip pengobatan dengan ART adalah dengan menggunakan regimen terapi kombinasi 3 atau lebih ART. Obat anti retroviral di bagi dalam 3 golongan utama yaitu :
1. Entry Inhibitor (pemghambat masuknya virus) : mekanisme kerjanya dengan cara berikatan dengan sub unit GP 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke sel target dihambat. Obat : Enfuviride.
2. Reverse Transcriptase Inhibitor, dibagi ke dalam 2 kelompok :l
v Nucleocide and Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTIs) (analog nukleoside) : target aksinya adalah enzim reverse transkriptase, dengan penghambatan kerja enzim maka pembentukan DNA virus diblokir dan replikasi dihentikan. Obat : Zidovudine (AZT), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC).
v Non-Nucleoside Reverse Transciptase Inhibitor (NNRTIs) : obat ini memiliki struktur kimiawi yang berbeda, jadi bukan analog nukleoside. Mekanisme kerjanya dengan mengikat secara langsung pada enzim reverse transkriptase dan memblok pembentukan DNA. Selain itu di dalam DNA virus yang sudah terbentuk, obat ini menghambat perpanjangan selanjutnya dari rantai DNA (polimerisasi). Obat : Evapirenz (EFV), Nevirapin (NVP).
3. Protease Inhibitor (PI) : bekerja pada fase akhir dari replikasi virus dan efeknya terhadap HIV lebih kuat daripada NRTIs/NNRTIs. PI mampu menghentikan replikasi dari sel yang sudah terinfeksi. PI menghamabt enzim protease yang memecah poliprotein besar yang terbentuk oleh DNA viral menjadi protein-protein yang lebih kecil untuk digunakan bagi pembentukan virus baru, sehingga pembentukan virus baru dapat dihambat seluruhnya. Obat : Nelvinafir (NFV), Ritonavir (RTV), Saquinavir, Lopinavir (LPV).
Regimen terapi ART untuk pertama kali dilakukan dengan kombinasi 3 obat, kombinasi yang paling umum untuk memulai pengobatan yaitu 2 kombinasi NRTIs dengan salah satunya NNRTIs. Regimen terapi ada 3 basis, antara lain :
v Basis NNRTIs : Evapiren (NNRTIs) + Zidovudine (NRTIs) + Lamivudine (NRTIs)
v Basis PI : Lopinavir (PI) + Zidovudine (NRTIs) + Lamivudine (NRTIs)
v Basis Triple NRTIs : Abacavir + Zidovudine (NRTIs) + Lamivudine (NRTIs)
Pertimbangan pergantian terapi dilakukan dengan melihat : (1) efektivitas obat (dilihat dari nilai VL dan CD4+ setelah 6 pengobatan); (2) profil ESO : pasien tidak dapat mentoleransi ESO, mungkin saja VL mengalami penurunan namun ESO tidak dapat ditolelir maka terapi dapat diganti.
Sebelum terapi mulai dilakukan maka perlu dilakukan evaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui kesiapan pasien untuk menerima terapi, dengan cara : (1) mengevaluasi pengetahuan pasien tentang penggunaan obat ART; (2) pasien harus diinformasikan tentang ESO dari ART; (3) memastikan adanya dukungan dari orang-orang terdekat pasien; (4) memastikan adanya laboratorium yang memadai untuk monitoring perkembangan penyakit; (5) adanya layanan kefarmasian yang memadai untuk menjamin ketersediaan ART dan obat-obat infeksi.
Monitoring keberhasilan terapi dilakukan dengan melihat beberapa kriteria diantaranya :
1. Kriteria imunologik : dengan melihat nilai CD4+ , seharusnya mengalami peningkatan setelah mendapat terapi.
2. Kriteria virologik : dengan melihat jumlah VL, seharusnya menurun / undetectable setelah 6 bulan terapi (> 50.000 copies/ml pada pasien dewasa dan >500.000 copies/ml pada pasien anak-anak)
3. Kriteria klinik : melalui peningkatan BB, berkurangnya gejala, menurunnya frekuensi/beratnya infeksi oportunistik
4. Monitoring ESO ART : jika ESO ringan maka obat diteruskan dengan harapan dapat segera ditolelir, jika ESO menetap maka disarankan untuk konsultasi ke dokter dan jika ESO berat maka terapi ART dihentikan atau diganti terapi ART lainnya.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa obat antiretroviral dapat digunakan selama kehamilan. Obat-obatan dapat digunakan untuk mengurangi viral load wanita efektif dibawah deteksi. Ini juga sangat mengurangi resiko bayi terinfeksi.
Penanganan HIV pada neonatus yaitu 8 jam setelah kelahiran diberi monoterapi zidovudine (NRTIs) kemudian dimonitor CD4 dan viral load-nya. Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat dicegah selama periode before birth, during birth dan post partum (after birth).
Perawatan yang paling efektif untuk anak dengan HIV adalah ART. Hal ini memerlukan beberapa obat antiretroviral (ARV) dilakukan setiap hari. Pengobatan antiretroviral mengurangi penyakit dan kematian diantara anak-anak yang hidup dengan HIV. Dalam satu penelitian di Brazil, tiga perempat anak HIV-positif yang menerima ART masih bisa bertahan hidup setelah mengikuti 4 tahun periode.