Selasa, 11 Januari 2011

Sedikit tentang 'Pengeringan SimPlisia...'

PENGERINGAN SIMPLISIA
Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat terhambat. Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak dan tahan disimpan dalam waktu yang lama Dalam proses ini, kadar air dan reaksi-reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu pengeringan perlu diperhatikan. Suhu pengeringan tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40 – 600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%.
Demikian pula dengan waktu pengeringan juga bervariasi, tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan seperti rimpang, daun, kayu ataupun bunga. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah kebersihan (khususnya pengeringan menggunakan sinar matahari), kelembaban udara, aliran udara dan tebal bahan (tidak saling menumpuk). Pengeringan bahan dapat dilakukan secara tradisional dengan menggunakan sinar matahari ataupun secara modern dengan menggunakan alat pengering seperti oven, rak pengering, blower ataupun dengan fresh dryer. Pengeringan hasil rajangan dari temu-temuan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari, oven, blower dan fresh dryer pada suhu 30 – 500C. Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif, sehingga mutunya dapat menurun. Untuk irisan rimpang jahe dapat dikeringkan menggunakan alat pengering energi surya, dimana suhu pengering dalam ruang pengering berkisar antara 36 – 450C dengan tingkat kelembaban 32,8 – 53,3% menghasilkan kadar minyak atsiri lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari langsung maupun oven. Untuk irisan temulawak yang dikeringkan dengan sinar matahari langsung, sebelum dikeringkan terlebih dulu irisan rimpang direndam dalam larutan asam sitrat 3% selama 3 jam. Selesai itu irisan dicuci kembali sampai bersih, ditiriskan kemudian dijemur dipanas matahari. Tujuan dari perendaman adalah untuk mencegah terjadinya degradasi kurkuminoid pada simplisia pada saat penjemuran juga mencegah penguapan minyak atsiri yang berlebihan. Dari hasil analisis diperoleh kadar minyak atsirinya 13,18% dan kurkumin 1,89%. Di samping menggunakan sinar matahari langsung, penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan blower pada suhu 40 – 500C. Kelebihan dari alat ini adalah waktu penjemuran lebih singkat yaitu sekitar 8 jam, dibandingkan dengan sinar matahari membutuhkan waktu lebih dari 1 minggu. Selain kedua jenis pengering tersebut juga terdapat alat pengering fresh dryer, dimana suhunya hampir sama dengan suhu ruang, tempat tertutup dan lebih higienis. Kelemahan dari alat ter-sebut waktu pengeringan selama 3 hari. Untuk daun atau herba, pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari di dalam tampah yang ditutup dengan kain hitam, menggunakan alat pengering fresh dryer atau cukup dikering anginkan saja. Pengeringan dapat menyebabkan perubahan-perubahan hidrolisa enzimatis, pencokelatan, fermentasi dan oksidasi. Ciri-ciri waktu pengeringan sudah berakhir apabila daun ataupun temu-temuan sudah dapat dipatahkan dengan mudah. Pada umumnya bahan (simplisia) yang sudah kering memiliki kadar air ± 8 – 10%. Dengan jumlah kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik dalam pengolahan maupun waktu penyimpanan.

Mc. Farland Standard

Mc Farland Standards are used for standardization of numbers of bacteria when required by procedures or for susceptibility testing. The basic 0,5 Mc Farland Standard contains approximately 1x107 to 1x108 CFU/ml (1x1010 to 1x1011 CFU/L)
FORMULA
0,5 Mc Farland Standard
 
Barium Chloride, 0,048M solution
0,5 ml
Sulfuric Acid, 0,18M solution
99,5 ml
O.D at 625 nm
0,08-0,1
1,0 Mc Farland Standard
 
Barium Chloride, 0,048M solution
1,0 ml
Sulfuric Acid, 0,18M solution
99,0 ml
O.D. at 625 nm
0,16-0,2
2,0 Mc Farland Standard
 
Barium Chloride, 0,048M solution
2,0 ml
Sulfuric Acid, 0,18M solution
98,0 ml
O.D. at 625 nm
0,32-0,4
3,0 Mc Farland Standard
 
Barium Chloride, 0,048M solution
3,0 ml
Sulfuric Acid, 0,18M solution
97,0 ml
O.D. at 625 nm
0,48-0,6
4,0 Mc Farland Standard
 
Barium Chloride, 0,048M solution
4,0 ml
Sulfuric Acid, 0,18M solution
96,0 ml
O.D. at 625 nm
0,64-0,8
5,0 Mc Farland Standard
 
Barium Chloride, 0,048M solution
5,0 ml
Sulfuric Acid, 0,18M solution
95,0 ml
O.D. at 625 nm
0,8-1,0
This approximate formula may be adjusted and/or enriched to obtain best results.
STORAGE
Store standards at 2-30º C protected from direct light.
PROCEDURE
Vigourously agitate these turbidity standards on vortex just before use.
  1. Inoculate a broth with 4-5 similar colonies from an agar plate culture. Mix thouroughly.
  2. Incubate at 35º C for 2-6 hours until it achieves or exceeds the turbidity of Mc Farland Standard required. If necessary, dilute suspension with broth or saline to obtain a turbidity visually comparable to required standard.
  3. Following standardized procedures inoculate plates for antimicrobial disk susceptibility tests. For testing the nutritive capacity of a medium dilute cell suspension according to previous references.
REFERENCES
  1. Lennette, E.H., Ballows, A., Hausler, W.J.Jr., and Shadomy, H.J. Manual of Clinical Microbiology. 4th ed. 1985 Washington D.C.: American society for Microbiology.
  2. NCCLS 1990 Quality assurance for commercially prepared microbiological culture media Approved standard Document M22-A Vol.10, No.14
  3. NCCLS 1990 Performance standards for antimicrobial disk susceptibility tests 4th ed. Approved standard Document M2-A4 Vol.10, No.7

FT. Renal & Kardiovaskuler

FARMAKOTERAPI RENAL & KARDIOVASKULER
GANGGUAN PADA GINJAL
Ginjal terletak di dalam abdomen (perut) ke arah belakang dan masing-masing satu buah disisi kanan dan kiri dari tulang belakang (spine). Kedua ginjal ini mendapat suplai darah melalui arteri-arteri renal langsung dari aorta dan mengirim balik darah ke jantung melalui vena renal ke vena cava. “Renal” berasal dari kata latin untuk ginjal.
        Seperti kita ketahui bahwa fungsi ginjal yang terpenting yakni membuang bahan-bahan sampah tubuh dari hasil pencernaan atau yang diproduksi oleh metabolisme. Fungsi kedua adalah mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh, keseimbangan antara asupan (akibat pencernaan atau produksi metabolik) sebagian besar dipertahankan oleh ginjal. Fungsi pengaturan ginjal ini adalah memelihara kestabilan lingkungan sel-sel yang diperlukan untuk melakukan berbagai macam aktivitasnya. Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi, bergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya, ginjal membuang zat yang tidak diinginkan dari filtrat dengan mengekskresikannya melalui urin, sementara zat yang dibutuhkan dikembalikan ke dalam darah.
Gagal ginjal kronik (Chronic Renal Disease) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif, dan cukup lama. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50 ml/menit.
                                Ada banyak penyebab dari gagal ginjal kronik, bisa disebabkan oleh diabetes dan hipertensi, atau bisa juga karena riwayat penyakit keluarga, seperti polikistik. Beberapa tipe berikut ini merupakan penyebab utama kerusakan ginjal yaitu :
§    Diabetes, merupakan penyebab dari gagal ginjal kronik. Diabetes adalah penyakit dimana tubuh kita tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang dibutuhkan olah tubuh atau tubuh tidak mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan insulin secara adekuat. Hal ini menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan apabila tidak ditangani akan menyebabkan masalah di dalam tubuh termasuk ginjal.
§    Tekanan darah tinggi (hipertensi), merupakan penyebab kedua terbesar gagal ginjal kronik. Tekanan darah meningkat jika ginjal yang terganggu itu masih menghasilkan zat yang dinamakan rennin. Renin akan merangsang produksi angiotensin dan selanjutnya angiotensin akan meningkatkan kadar aldosteron di dalam darah. Angiotensin merupakan vasokonstriktor kuat, sedangkan aldosteron merupakan hormon dari anak ginjal yang meningkatkan volume darah karena menahan natrium dan air. Produksi kedua zat ini, akan menyebabkan kenaikan tekanan darah pada pasien gagal ginjal kronis.
§    Glomerulonefritis, adalah penyakit yang disebabkan adanya peradangan pada unit saringan terkecil ginjal yang disebut glomeruli.
§    Ginjal polikistik, merupakan penyakit yang bersifat genetik (keturunan) dimana terjadinya kelainan yaitu terbentuknya kista pada kedua ginjal yang berkembang secara progresif sehingga menyebabkan kerusakan ginjal.
§    Batu ginjal, adalah terjadinya sumbatan disepanjang saluran kemih akibat terbentuknya semacam batu yang 80% terdiri dari kalsium dan beberapa bahan lainnya. Ukuran batu ginjal ada yang hanya sebesar butiran pasir sampai ada yang sebesar bola golf.
§    Infeksi saluran kencing, timbulnya infeksi dapat disebabkan oleh adanya bakteri yang masuk ke dalam saluran kencing yang menyebabkan rasa sakit atau panas pada saat buang air kecil dan kecenderungan frekuensi buang air kecil yang lebih sering. Infeksi ini biasanya akan menyebabkan masalah pada kandung kemih namun terkadang dapat menyebar ke ginjal. Bakteri penyebab infeksi biasanya berasal dari flora normal saluran cerna, pada wanita pendeknya uretra dan kedekatannya dengan daerah periektal menyebabkan kolonisasi dari uretra. Bakteri dapat memasuki kantung kemih, organisme melalui uretra. Setelah berada di kantung kemih, organisme akan membelah diri dengan cepat dan dapat bergerak ke atas menuju ginjal melalui ureter. Pasien yang tidak dapat mengosongkan urin secara sempurna mempunyai resiko yang sangat besar mengalami infeksi pada saluran urin dan lebih sering mengalami infeksi kembali.
§    Obat dan racun, mengkonsumsi obat yang berlebihan atau yang mengandung racun tertentu dapat menimbulkan masalah pada ginjal. Selain itu penggunaan obat-obatan terlarang seperti heroin, ganja dapat merusak ginjal.
Patofisiologi gagal ginjal terjadi  pada saat fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein tidak dapat dikeluarkan melalui urin dan terakumulasi dalam darah dan terjadi uremia  sehingga mempengaruhi berbagai sistem dalam tubuh. Semakin tinggi kadar ureum dalam darah gejala yang ditimbulkan semakin berat. Penurunan laju filtrasi glomerulus semakin meningkatkan kadar ureum dan kreatinin darah serta menurunkan hasil CCT. Ginjal cenderung menahan natrium dan air sehingga menimbulkan edema, hipertensi dan congestif heart failure. Peningkatan tekanan darah terjadi akibat aktivasi sistem rennin-angiotensin dan sekresi aldosteron oleh ginjal. Pada beberapa pasien terjadi kecenderungan kehilangan natrium sehingga memungkinkan terjadinya hipotensi dan hipovolemik. Acidosis metabolik terjadi jika ginjal tidak mampu mengeluarkan peningkatan jumlah asam (ion H) karena ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mengeluarkan ammonia dan reabsorbsi bicarbonat. Tingkat kalsium dan fosfat dalam serum berbanding terbalik karena menurunnya laju filtrasi glomerulus. Anemia terjadi karena produksi eritropoietin oleh ginjal tidak mencukupi, usia sel darah merah yang memendek, atau kurang nutrisi. Eritropoietin normal diproduksi oleh ginjal dan diperlukan oleh sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Pada gagal ginjal kronik terjadi penurunan produksi sel darah merah dan menimbulkan anemia sehingga mengakibat kelemahan, angina, dan nafas pendek.
Komplikasi neurologis dapat terjadi karena hipertensi berat, ketidakseimbangan elektrolit, intoksikasi air, efek obat-obatan serta gagal ginjal itu sendiri. Manifestasi yang timbul bisa berupa gangguan fungsi mental, perubahan kepribadian dan tingkah laku, kejang dan koma.
Penyakit ginjal kronis dapat menjadi 5 tahap yaitu :
§       Stadium 1: Kerusakan ginjal dengan GFR yang normal atau baru sedikit menurun (GFR ≥ 90).
§       Stadium 2 : Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR yang ringan (GFR 60-89).
§       Stadium 3 : Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR yang sedang (GFR 30-59).
§       Stadium 4 : Penurunan GFR yang berat (GFR 15-29).
§       Stadium 5 : Penyakit ginjal stadium akhir (GFR ≤ 15) yang memerlukan cuci darah atau cangkok ginjal.
Manifestasi klinik yang muncul pada pasien gagal ginjal kronik yaitu antara lain gangguan pada sistem gastrointestinal (anoreksia, nausea, vomitus, gangguan metabolisme protein dalam usus, gastritis erosif, ulkus peptik, kolitis uremik), gangguan pada kulit (kulit pucat akibat anemia, gatal dengan eskoriasi akibat toksin uremik, ekimosis akibat gangguan hematologis), gangguan pada sistem hematologi (anemia, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, gangguan fungsi leukosit), gangguan sistem saraf dan otot (pegal pada kaki, rasa kesemutan ditelapak kaki, lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang), gangguan sistem kardiovaskular (hipertensi, nyeri dada dan sesak napas, gangguan irama jantung, edema akibat penimbunan cairan, gangguan pada sistem endokrin (gangguan seksual, gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, gangguan metabolisme lemak).
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.
Terapi dibutuhkan apabila fungsi ginjal seseorang telah mencapai tingkatan terakhir (stage 5) dari gagal ginjal kronik. Dokter akan menentukan tingkatan fungsi ginjal seseorang berdasarkan perhitungan GFR atau glomelural filtration rate, dimana pada tingkatan GFR dibawah 15 ginjal seseorang dinyatakan masuk dalam kategori gagal ginjal terminal (End Stage Renal Disease).
Sebagai terapi pengganti, tindakan hemodialisa mempunyai tujuan :
a.       Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat
b.       Membuang kelebihan air
c.        Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh
d.       Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh
e.        Memperbaiki status kesehatan penderita
Dalam kegiatan hemodialisa terjadi 3 proses utama diantaranya seperti berikut :
1.       Proses difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan kadar di dalam darah dan di dalam dialisat. Semakin tinggi perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang dipindahkan ke dalam dialisat.
2.       Proses ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.
3.       Proses osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat.
Dialisa dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan antara lain kelainan fungsi otak (enselofati uremik), perikarditis (peradangan kantung jantung) dan asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan lainnya, gagal jantung dan hiperkalemia. 
Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Rata-rata manusia mempunyai sekitar 5,6-6,8 liter darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada di luar tubuh. Untuk proses hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses agar darah dari tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian kembali ke dalam tubuh. Terdapat 3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft dan central venous catheter. AV fistula adalah akses vascular yang paling direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan juga nyaman untuk pasien. Sebelum melakukan proses hemodialisa, perawat akan memeriksa tanda-tanda vital pasien untuk memastikan apakah pasien layak untuk menjalani hemodialisis. Selain itu pasien menjalani timbang badan untuk menentukan jumlah cairan di dalam tubuh yang harus dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah menghubungkan pasien ke mesin cuci darah dengan memasang blood line (selang darah) dan jarum ke akses vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan akses untuk jalan masuk darah ke dalam tubuh. setelah semua terpasang maka proses terapi hemodialisa dapat di mulai. Pada saat proses hemodialisa penderita akan selalu melihat 2 jerigen yang berada di depan mesin HD. Jerigen tersebut berisi cairan dialisat dan bicarbonat. cairan dialisat berisi elektrolit dan mineral yang selain membantu proses pembuangan racun dalam tubuh juga membantu menjaga kadar elektrolit dan mineral dalam tubuh. Bersama dengan cairan bicarbonat cairan dialisat tersebut dicampur di dalam mesin dengan bantuan air murni olahan yang menggunakan teknologi reverse osmosis. Baik cairan dialisat yang telah dicampur dan darah bersama-sama (tapi tidak bercampur satu dengan yang lainnya) menuju ke dialyzer dimana proses penyaringan racun dilakukan. Racun tersebut kemudian dibawa keluar bersama cairan dialisat untuk dibuang lewat saluran pembuangan.
Penyakit ginjal dapat mengurangi ekskresi obat aktif maupun metabolitnya yang aktif melalui ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam darah dan jaringan, dan menimbulkan respon yang berlebihan atau efek toksik. Selain itu penyakit ginjal dapat mengurangi kadar protein plasma (oleh adanya peningkatan kadar ureum dan asam lemak bebas dalan darah) sehingga meningkatkan kadar obat bebas dalam darah, mengubah keseimbangan elektrolit dan asam basa, meningkatkan sensitivitas atau respon jaringan terhadap beberapa obat dan mengurangi atau menghilangkan efektifitas beberapa obat.
Penyesuaian dosis penunjang dapat dilakukan dengan 3 cara :
1.       Besar dosisnya tetap, tetapi interval dosis diperpanjang
2.       Interval dosis tetap, tetapi besar dosis diperkecil
3.       Gabungan 1 dan 2, dosis diperkecil dan interval dosis diperpanjang, asalkan total dosis persatuan waktu pada gangguan fungsi ginjal sama dengan nilai tersebut pada ginjal normal.
        
I.        Contoh Kasus
Seorang wanita 52 tahun; TB : 165 cm; BB : 70 kg, masuk RS.
Riwayat penyakit                      : DM sejak 2 tahun yang lalu
Keluhan yang di rasa              : Mual, lemas, sakit di ulu hati
Diagnosa utama                        : CRF
Diagnosa lain                             : DM II NO, ISK dan Hipertensi
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan :
-          Albumin              : 1,89 g/dL
-          Cholesterol          : 175 mg/dL
-          Trigliserida         : 163 mg/dL
-          BUN                      : 74.4 mg/dL
-          Kreatinin              : 7,2 mg/dL
-          Glukosa                : 253 mg/dL
-          Natrium               : 129 mmol/L
-          Kalium                 : 4,51 mmol/L
-          Chlorida               : 90 mmol/L
Pemeriksaan mikrobiologi :
-          Bahan                   : Urine 
-          Jenis Kuman       : E. Coli, S. Epidermidis
Pengecekan TD          : 180/80 mmHg
Pertanyaan :
1.       Bagaimana tatalaksana penyakit pasien tersebut ?
2.       Apa saja informasi yang perlu disampaikan agar terapi pasien optimal ?
3.       Hitunglah ClCr pasien ?
II.      Analisa Kasus
1.       Persamaan untuk menghitung ClCr pada orang dewasa
Persamaan Cockroft-Gault :
ClCr = (140 – usia) x IBW   x (0,85 jika wanita)
                    72 x SCr
Keterangan Rumus :
ClCr         : Klirens kreatinin
GFR       : Laju filtrasi glomerulus
IBW        : Indeks body weight
SCr           : Kadar kreatinin serum
Usia       : Dalam tahun
Perhitungan :
Diketahui             : Usia     : 52 tahun
                                  BB         : 70 kg
                                  SCr         : 7,2 mg/dL
Ditanya                : ClCr pasien…..?
Jawab :
IBW = 45,5 + (2,3 x (TB/2,5 – 60))
= 45,5 + (2,3 x (165/2,5 – 60))
= 59,3 kg
ClCr  = (140 – usia) x IBW   x (0,85 jika wanita)
                          72 x SCr
                ClCr = (140-52) x 59,3  x 0,85
                                      72 x 7,2
                ClCr = 8,56 ml/menit
2.       Perhitungan GFR (Glomerulus Filtration Rate). Persamaan dari hasil studi MDRD:
GFR = 186 x (SCr)-1,154 x (Usia)-0,203 x (0,742 jika wanita) x 1,210 (jika kulit hitam)
Karena pasien diasumsikan memiliki kulit putih maka persamaannya menjadi :
GFR = 186 x (SCr)-1,154 x (Usia)-0,203 x 0,742
= 186 x (7,2)-1,154 x (52)-0,203 x 0,742
= 6, 34%
3.       Analisa kasus dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment and Plan)
§       Subjective
Nama pasien              : -
Jenis kelamin              : Wanita
Umur                            : 52 tahun
Tinggi badan              : 165 cm
Berat badan                 : 70 kg
Riwayat Penyakit      : DM sejak 2 tahun yang lalu
Keluhan                       : Mual, lemas dan sakit di ulu hati.
§       Objective
Albumin                      : 1,89 g/dL                            (normal 3,5-5,8 g/dL)
Cholesterol  : 175 mg/dL                         (normal 150-250 mg/dL)
Trigliserida : 163 mg/dL                         (normal 40-155 mg/dL)
BUN                              : 74.4 mg/dL                        (normal < 50 mg/dL)
Kreatinin                      : 7,2 mg/dL                          (normal 0,5-1,2 mg/dL)
Glukosa                        : 253 mg/dL                         (normal 40-70 mg/dL)
Natrium                       : 129 mmol/L                      (normal 135-145 mmol/L)
Kalium                         : 4,51 mmol/L                     (normal 3,7-5,0 mEq/L)
Chlorida                       : 90 mmol/L                         (normal 100-106 mEq/L)
Pemeriksaan mikrobiologi :
Bahan                           : Urine
Jenis Kuman               : E. Coli
S. Epidermidis
Pengecekan TD          : 180/80 mmHg
§       Assesment
  •  Berdasarkan kadar kreatinin, BUN, ClCr (8,56 ml/menit) dan GFR 6,34% maka pasien di diagnosa mengalami gagal ginjal kronik  (CRF) stadium 5. Gagal ginjal kronik yang dialami pasien dikarenakan adanya riwayat penyakit penyerta yang dapat memicu kerusakan nefron-nefron ginjal seperti diabetes dan hipertensi.
  • Pasien menderita DM tipe II yang didasarkan pada kadar glukosa yang melebihi batas normal (253 mg/dL) dan riwayat penyakit pasien yaitu menderita diabetes mellitus tipe II NO selama 2 tahun.  
  • Berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi terhadap sampel urine dan ditemukan kuman E.coli dan S. Epidermidis maka pasien di diagnosa menderita infeksi saluran kemih.
  • Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pasien yaitu 180/80 mmHg maka pasien di diagnosa menderita hipertensi stage II (JNC VII, 2003).
  • Berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien yaitu mual dan sakit di ulu hati, dimana keluhan ini merupakan manifestasi dari berlebihnya kadar ureum di dalam darah.
  • Berdasarkan keluhan yang dirasakan  pasien yaitu lemas maka pasien dapat disimpulkan bahwa keluhan itu merupakan manifestasi dari kekurangan darah (anemia).
§       Planning
Tujuan Terapi :
®    Tujuan Terapi Jangka Pendek :
ü Menurunkan tekanan darah.
ü Menurunkan kadar glukosa darah.
ü Mengatasi symptom (keluhan) yang dirasakan pasien yaitu mual, lemas dan sakit di ulu hati.
ü Mengatasi infeksi saluran kemih.
ü Meningkatkan kadar albumin pasien untuk mengatur tekanan osmotik di dalam darah (mempertahankan volume darah).
®      Tujuan Terapi Jangka Panjang :
ü Mempertahankan fungsi ginjal agar dapat berfungsi seoptimal mungkin.
ü Meningkatkan kualitas hidup pasien.
ü Mempertahankan kadar tekanan darah dan glukosa darah dalam batas normal. untuk mencegah agar kondisi tidak bertambah buruk.
Sasaran Terapi :
®      Menurunkan kadar glukosa darah
®      Menurunkan tekanan darah
®      Mengobati infeksi saluran kemih
®      Mengatasi symptom mual, lemas dan sakit di ulu hati
®      Menurunkan kadar trigliserid dengan terapi non farmakologi
®       Mempertahankan fungsi ginjal.
Strategi Terapi :
®    Terapi Farmakologi
ü Captopril 12,5 mg 1 kali sehari per oral diminum 2 jam setelah makan.
ü Insulatard Hm (Insulin kerja sedang mula kerja singkat) 40 UI/ml 2 kali sehari SC digunakan sebelum sarapan.
ü Infus dextrose 5%.
ü Ampicillin trihidrat 500 mg IM tiap 8 jam.
®      Terapi Non Farmakologi
ü Dialisis (cuci darah) dilakukan dengan frekuensi minimal 2-3 kali seminggu, lamanya cuci darah minimal 4-5 jam untuk setiap kali tindakan. Dialisis dilakukan pada gagal ginjal kronis pada stadium akhir dimana GFR nya < 15 ml/menit.
ü  Cukup asupan cairan (cukup minum) menurut keadaan ginjal dan jumlah produksi air seni. Biasanya cairan yang diperlukan tubuh berkisar antara 1500-2000 ml per hari. Jika jumlah air seni berkurang, pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah urine ditambah kehilangan air yang tidak terlihat seperti melalui tinja, keringat dan paru-paru.
ü Diet tinggi protein untuk pasien yang menjalani cuci darah secara kontinue. Menghitung asupan protein bisa dilakukan dengan berat badan yang sebenarnya atau BB tanpa edema dikalikan dengan 1,2 g protein/hari (untuk pasien cuci darah).
ü Pengaturan keseluruhan asupan energi dari makanan. Orang normal komposisi makanannya 60 KH: 20 lemak: 20 protein. Bila pasien cuci darah maka komposisi makanan dengan perbandingan 55 KH: 30 lemak: 15 protein. Bila pasien tidak cuci darah perbandingannya adalah 60 KH: 30 lemak: 10 protein.
ü Dianjurkan untuk menggunakan protein hewani. Karena pada protein hewani banyak mengandung asam amino essensial yang penting untuk tubuh namun tubuh tidak bisa memproduksi sendiri, contoh : glutamine.
ü Membatasi asupan natrium (garam). Asupan Na yang dianjurkan bagi pasien yang menjalani cuci darah adalah 800-100 mmol (1840-2300 mg Na) atau 4,5-5,8 g NaCl. contoh makanannya adalah margarine, coklat, susu, daging dan ikan.
ü Membatasi asupan kalium hingga 50-60 mmol/hari atau sekitar 3 g per hari. Untuk pasien yang menjalani cuci darah adalah 1 mmol (39 mg kalium). Contoh makanannya adalah : havermut, kentang, singkong, kacang hijau, kacang kedelai, bayam, daun pepaya muda, cokelat, teh dan susu.
ü Meningkatkan kadar kalsium hingga 9-11 mg/dl., kadar kalsium dalam cairan dialisat harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
ü Membatasi asupan magnesium hingga 300 mg per hari.
ü Membatasi asupan fosfor hingga 8-12 mg/KgBB/hari. Sedangkan pada pasien yang menjalani cuci darah, asupan fosfor dapat sedikit dinaikkan menjadi 17 mg/KgBB/hari. Contohnya makanannya adalah jenis serelia (beras, ketan hitam, beras jagung), kacang-kacangan (kacang mete, kacang hijau, kedelai), telur (telur ayam kampung, telur bebek), makanan laut (kerang, telur ikan, terasi, teri kering, teri segar, udang kering) dan susu.
ü Dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi sekitar 15 mg seperti protein hewani (daging merah dan hati).
ü Menghindari stress fisik dan mental karena dapat meningkatkan tekanan darah dan gula darah.
ü Melakukan olahraga rutin yang ringan seperti jalan di pagi hari selama ½ jam.
PEMBAHASAN KASUS
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal yang menahun, berlangsung progresif dan cukup lama. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai penyakit yang merusak nefron ginjal, seperti diabetes, hipertensi, infeksi dan sebagainya. Pasien yang memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes tipe II akan beresiko sangat tinggi terkena penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal.
                Parameter yang dijadikan patokan untuk mendiagnosa gagal ginjal adalah meningkatnya kadar ureum, kreatinin dan BUN (blood urea nitrogen). Patofisiologi gagal ginjal terjadi pada saat fungsi ginjal menurun sehingga produk akhir metabolisme protein (kreatinin) tidak dapat dikeluarkan melalui urine dan terakumulasi dalam darah dan terjadilah uremia sehingga mempengaruhi berbagai sistem di dalam tubuh. Semakin tinggi kadar ureum di dalam darah maka gejala yang ditimbulkan akan semakin berat. Dengan penurunan laju filtrasi glomerulus akan semakin meningkatkan kadar ureum dan kreatinin darah serta menurunkan hasil ClCr. Adapun gejala-gejala yang timbul akibat meningkatnya kadar ureum di dalam darah adalah gatal-gatal, mual dan sakit di ulu hati karena ureum bersifat iritan pada saluran gastointestinal.
                Analisa kasus dilakukan adalah dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Asessment, and Plan). Berdasarkan data-data subjektif diketahui bahwa pasien (52 th) memiliki riwayat penyakit DM tipe II NO selama 2 tahun dan mengalami keluhan mual, lemas dan sakit di ulu hati. Berdasarkan data objektif melalui hasil pemeriksaan laboratorium dapat diketahui bahwa kadar albumin mengalami penurunan sedangkan kadar trigliserid, BUN, kreatinin dan glukosa mengalami peningkatan.
Penurunan kadar albumin pada kasus ini dibarengi dengan kenaikan kadar kreatinin, hal ini karena pasien gagal ginjal pada umumnya cenderung menjalani diet rendah protein untuk mencegah berlebihnya hasil metabolisme yaitu kreatinin yang tidak dapat diekskresi melalui ginjal, sedangkan hal ini akan berimbas pada kadar albumin yang akan semakin mengalami penurunan, dimana albumin merupakan protein plasma yang menentukan ikatan obat dengan protein, jika kadar albumin menurun maka obat dalam bentuk bebas akan bertambah banyak sehingga obat bebas ini akan menyebabkan efek toksik bagi pasien gagal ginjal.
Dari data subjektif dan objektif pasien maka dapat ditegakkan diagnosa untuk menetapkan penyakit pasien. Berdasarkan nilai ClCr yaitu 8,56 ml/mnt dan nilai GFR yaitu 6,34% maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien telah memasuki stadium akhir dari gagal ginjal kronik (stadium 5), gagal ginjal kronik yang dialami pasien dipicu oleh adanya riwayat penyakit penyerta yaitu diabetes mellitus selama 2 tahun dan hipertensi. Pasien juga mengalami DM tipe 2 yang didasarkan pada riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kadar glukosa melebihi batas normal yaitu 253 mg/dL, pasien juga di diagnosa menderita hipertensi stage 2 berdasarkan klasifikasi dari JNC VII dan pengukuran tekanan darah yaitu 180/80 mmHg. Berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi dengan menggunakan sampel urine ditemukan kuman E. Coli dan S. Epidermidis maka pasien di diagnosa menderita infeksi saluran kemih. Berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien yaitu mual dan sakit di ulu hati dapat disebabkan karena peningkatan kadar ureum di dalam darah (BUN) sedangkan keluhan lemas dapat disebabkan karena anemia (kurang darah) namun diagnosa ini perlu dilengkapi dengan pemeriksaan kadar hemoglobin.
Rencana terapi (planning) yang diberikan kepada pasien memiliki tujuan umum yaitu untuk mempertahankan fungsi ginjal dan untuk mengobati penyakit penyerta sehingga dapat mencegah terjadinya keparahan. Maka strategi terapi yang diberikan adalah dengan menggunakan terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Adapun terapi non farmakologi yang diberikan bertujuan untuk membantu mempertahankan fungsi ginjal yang telah menurun dan mengatur diet yang diperlukan pasien, terapinya antara lain adalah :
§    Hemodialisis, merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh para penderita gagal ginjal kronik. Pada prinsipnya terapi hemodialisa adalah untuk menggantikan kerja dari ginjal yaitu menyaring dan membuang sisa-sisa metabolisme dan kelebihan cairan dari dalam tubuh, menyeimbangkan unsur kimiawi dalam tubuh serta membantu menjaga tekanan darah. Tindakan ini dibutuhkan apabila fungsi ginjal seseorang telah mencapai tingkatan akhir (stadium 5) dari gagal ginjal kronik. Tujuan dari hemodialisa adalah  membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat, membuang kelebihan air, mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh, mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh dan memperbaiki status kesehatan penderita. Hemodialisis dilakukan dengan frekuensi minimal 2-3 kali dalam 1 minggu yang lamanya 4-5 jam setiap kali tindakan hemodialisa.
§    Cukup asupan cairan (cukup minum) menurut keadaan ginjal dan jumlah produksi air seni. Biasanya cairan yang diperlukan tubuh berkisar antara 1500-2000 ml per hari. Jika jumlah air seni berkurang, pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah urine ditambah kehilangan air yang tidak terlihat seperti melalui tinja, keringat dan paru-paru.
§    Diet tinggi protein untuk pasien yang menjalani cuci darah secara kontinue. Menghitung asupan protein bisa dilakukan dengan berat badan yang sebenarnya atau BB tanpa edema dikalikan dengan 1,2 g protein/hari (untuk pasien cuci darah). Dianjurkan untuk menggunakan protein hewani. Karena pada protein hewani banyak mengandung asam amino essensial yang penting untuk tubuh namun tubuh tidak bisa memproduksi sendiri, contoh : glutamine. Diet tinggi protein ini juga dibutuhkan untuk meningkatkan kadar albumin.
§    Pengaturan keseluruhan asupan energi dari makanan. Orang normal komposisi makanannya 60 KH: 20 lemak: 20 protein. Bila pasien cuci darah maka komposisi makanan dengan perbandingan 55 KH: 30 lemak: 15 protein. Bila pasien tidak cuci darah perbandingannya adalah 60 KH: 30 lemak: 10 protein.
§    Membatasi asupan natrium (garam), yang dianjurkan bagi pasien yang menjalani cuci darah adalah 4,5-5,8 g NaCl, membatasi asupan kalium untuk pasien cuci darah sekitar 39 mg/hari, membatasi asupan magnesium hingga 300 mg per hari, membatasi asupan fosfor dan kebutuhan fosfor pada pasien yang menjalani cuci darah adalah 17 mg/KgBB/hari
§    Meningkatkan kadar kalsium hingga 9-11 mg/dl., kadar kalsium dalam cairan dialisat harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
§    Dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi sekitar 15 mg seperti protein hewani (daging merah dan hati).
§    Menghindari stress fisik dan mental karena dapat meningkatkan tekanan darah dan gula darah.
§    Melakukan olahraga rutin yang ringan seperti jalan di pagi hari selama ½ jam.
                  Adapun terapi farmakologi yang diberikan adalah sebagi terapi untuk mengobati penyakit yang menyertai gagal ginjal kronik seperti diabetes mellitus, hipertensi dan ISK. Untuk gagal ginjal kronis tidak ada terapi farmakologi khusus untuk mengatasinya, hanya saja pemberian obat-obatan lain harus dipertimbangkan dengan melihat kondisi ginjal yang telah berkurang fungsinya. Gagal ginjal mengurangi ekskresi obat aktif maupun metabolitnya yang aktif melalui ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam darah dan jaringan, serta menimbulkan respon yang berlebihan atau efek toksik. Sehingga pada gagal ginjal kronik perlu dilakukan penyesuaian regiment dosis dengan pilihan jika dosis tetap maka interval dosis diperpanjang dan jika interval tetap maka dosis dapat diperkecil. Obat-obat yang diberikan kepada pasien antara lain adalah :
§    Captopril (ACE Inhibitor)
ACE Inh merupakan antihipertensi yang efektif dan efek sampingnya dapat ditoleransi dengan baik. Captopril juga dikenal sebagai renoprotector dan captopril tidak hanya dapat menurunkan tekanan darah tetapi juga dapat memperbaiki fungsi glomerulus ginjal. Kenaikan tekanan darah pada pasien gagal ginjal dapat terjadi karena ginjal yang sakit akan mengeluarkan suatu zat yang dinamakan rennin. Rennin ini akan memicu produksi angiotensin dan aldosteron (hormon yang dihasilkan oleh anak ginjal/kelenjar adrenal), sehingga pada akhirnya terjadi kenaikan tekanan darah karena aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air. Namun reaksi ini terkadang juga merupakan reaksi kompensasi tubuh pada saat tekanan darah menurun pada kondisi gagal ginjal, sehingga ginjal mengeluarkan rennin untuk menjaga kesetimbangan di dalam tubuh oleh karena itu pada beberapa kasus penggunaan captopril pada gagal ginjal merupakan kontra indikasi karena dapat menghambat pembentukan rennin. Pada kasus ini tetap digunakan captoril karena tekanan darah yang tinggi (180/80 mmHg) dan kenaikan TD ini bukan merupakan suatu reaksi kompensasi lagi. Penggunaan captopril menurut JNC VII jika nilai GFR < 50 ml/mnt maka perlu dilakukan penurunan interval dosis. Pada kasus ini dosis yang dianjurkan dengan mengatur interval dosis adalah 12,5 mg 1 x sehari yang di minum 2 jam setelah makan.
§    Insulatard HM ((Insulin kerja sedang mula kerja singkat)
Pada pasien gagal ginjal penggunaan antidiabetik oral merupakan kontra indikasi. Pemberian insulin ditujukan  untuk meringankan beban kerja ginjal karena obat-obat yang diberikan per oral. Lama kerja insulatard HM ini adalah selama 14-24 jam. Pada kasus ini dosis yang disarankan adalah 40 UI/ml 2 kali sehari SC digunakan sebelum sarapan.
§    Infus Dekstrose 5%
Pada pemberian insulin harus disertai pemberian infus dextrose. Karena pemberian infus dekstrose dan regular insulin bukan hanya dapat mengendalikan gula darah tetapi juga akan menurunkan kadar kalium, karena gula yang dibawa masuk oleh insulin ke dalam sel akan membawa kembali ion kalium yang seharusnya berada di dalam sel. Selain itu infus ini ditujukan untuk menambah kalori di dalam tubuh yang banyak hilang setelah proses hemodialisa.
§    Ampicillin trihidrat (Antibiotik golongan penicillin)
Merupakan antibiotik spektrum luas dengan mekanisme kerja menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel bakteri. Indikasi penggunaannya adalah untuk infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, bronchitis kronis, salmonellosis invasive, gonorhoe. Pada kasus ini dianjurkan penggunaan ampicillin diberikan secara parenteral yaitu secara IM dengan dosis 500 mg tiap 8 jam. Selama pemberian antibiotik ini perlu di monitor terhadap efektivitas terapi dan jika ternyata pasien mengalami resistensi maka antibiotik dapat diganti dengan amoxicillin. Antibiotik yang tidak dianjurkan untuk gagal ginjal adalah golongan aminoglikosida, sefalosporin karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas.
                  Penggunaan obat-obat seperti captopril, insulin dan ampicillin diberikan sebaiknya setelah tindakan hemodialisa selesai dilakukan, karena dikhawatirkan obat-obat tersebut ikut tersaring keluar dari tubuh jika obat-obat tersebut memiliki sifat larut dalam air (darah).
                  Tindakan monitoring dilakukan setelah hemodialisa selesai dilakukan yaitu di evaluasi tanda-tanda vital dan data laboratorium setelah melakukan cuci darah, dilihat kadar apa saja yang mengalami penurunan atau mengalami kenaikan, jika ada tekanan darah menurun maka penggunaan antihipertensi dihentikan dahulu, jika kadar albumin dan hemoglobin mengalami penurunan maka dapat diberikan infus albumin untuk segera menaikkan kadarnya dan diberikan juga asam folat, karena salah satu efek samping dari hemodialisa adalah ikut larutnya asam folat dan protein dari dalam tubuh sehingga dapat mengakibatkan tekanan darah menjadi turun. Monitoring juga dilakukan pada penggunaan captopril selama 3 kali penggunaan obat tidak memberikan respon farmakologi yang baik maka dilakukan peningkatan dosis namun interval tetap (1 kali sehari) setelah itu di monitoring dan di evaluasi lagi, jika tidak juga memberikan respon farmakologi yang baik maka dianjurkan untuk mengganti obat dengan golongan ARB (antagonis reseptor beta) seperti losartan.
                  Perlu dilakukan monitoring pula terhadap kadar albumin, kadar trigliserid dan keluhan lemas yang semula hanya diberikan terapi secara non farmakologi. Jika setelah dimonitoring tidak mengalami perbaikan maka dapat dilakukan terapi dengan obat seperti pemberian infus albumin, pemberian obat antikolesterol seperti fibrat dan pemberian suplemen zat besi dan asam folat.
                  Tindakan hemodialisa dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasien antara lain jika kondisi pasien drop, terjadi hiperkalemia, status urin pasien (ureum tinggi), pasien mengalami udem paru (ditandai dengan sesak nafas), dan pasien mengalami kelebihan cairan di dalam tubuh yang ditandai dengan edema pada kaki.