Selasa, 11 Januari 2011

Infeksi Saluran Kemih (ISK)

FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN TUMOR
INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)
Sistem saluran kemih terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Di antara ke empat organ tersebut, ginjal adalah organ yang paling penting. Ginjal berfungsi menyaring sampah dari saluran darah, mengatur keseimbangan cairan, dan memproduksi beberapa hormon. Ureter berfungsi mengalirkan cairan hasil penyaringan ginjal ke kandung kemih untuk disimpan semantara dan bila kandung kemih telah penuh maka akan dikeluarkan ke luar melalui uretra.
Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari saluran perkemihan yang disebabkan oleh bakteri terutama Escherichia coli, resiko dan beratnya meningkat dengan kondisi seperti refluks vesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen uretral baru, septicemia. Etiologi : Bakteri (Eschericia coli), jamur dan virus, infeksi ginjal, prostat hipertropi (urine sisa). Penyebab utama ISK non-komplikasi adalah bakteri Escherichia coli (85%), Staphylococcus saphrophyticus (5-15%), Klebsiella pneumoniae, Proteus sp., Pseudomonas aeruginosa dan Enterococcus sp. (5-10%).
Infeksi saluran kemih (ISK) hampir selalu diakibatkan oleh bakteri aerob dari flora usus. Prevalensi kejadian antara usia kurang lebih 15-60 tahun dan jauh lebih banyak wanita daripada pria menderita infeksi saluraan kemih bagian bawah. Hal ini dikarenakan bahwa pada wanita uretranya lebih pendek (2-3 cm) daripada pria, sehingga kandung kemih mudah dicapai oleh bakteri dari dubur melalui perineum, khususnya basil Escherichia coli. Pada pria selain uretranya lebih panjang (15-18 cm) cairan prostatnya juga memiliki sifat bakterisisd sehingga menjadi pelindung terhadap infeksi oleh bakteri uropatogen.
Secara normal, urine adalah steril (bebas kuman). Infeksi terjadi bila bakteri yang berasal dari saluran cerna masuk ke uretra atau ujung saluran kencing untuk kemudian berkembang biak disana. Oleh karena itu bakteri yang paling sering menyebabkan ISK adalah Escherichia coli yang umum terdapat dalam saluran pencernaan bagian bawah. Infeksi tractus urinarius terutama berasal dari mikroorganisme pada faeces yang naik dari perineum ke uretra dan kandung kemih serta menempel pada permukaan mukosa. Agar infeksi dapat terjadi, bakteri harus mencapai kandung kemih, melekat pada dan mengkolonisasi epitelium traktus urinarius untuk menghindari pembilasan melalui berkemih, mekanisme pertahan penjamu dan cetusan inflamasi. Inflamasi, abrasi mukosa uretral, pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap, gangguan status metabolisme (diabetes, kehamilan, gout) dan imunosupresi meningkatkan resiko infeksi saluran kemih dengan cara mengganggu mekanisme normal.
Jenis infeksi saluran kemih dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
v  ISK bagian bawah (sistitis), umumnya radang kandung kemih pada pasien dengan saluran kemih normal. Sistitis yang paling sering disebabkan oleh menyebarnya infeksi dari uretra, hal ini dapat disebabkan oleh aliran balik urine dari uretra ke dalam kandung kemih (refluks utrovesikal), kontaminasi fekal, pemakaian kateter atau sistoskop. Gejala ISK bagian bawah antara lain, sakit dan nyeri menggigit pada perut bagian bawah diatas tulang kemaluan, terasa sakit di akhir kencing, anyang-anyangan atau rasa masih ingin kencing lagi namun air kencing tidak dapat keluar, ada darah di dalam urin (hematuria), adanya sel-sel darah putih dalam urin, kondisi parah dapat disertai demam.
v  ISK bagian atas, terdapat pada pasien dengan saluran kemih yang abnormal, misalnya adanya batu, penyumbatan dan diabetes. Contoh dari ISK ini adalah radang pasu-ginjal (pyelitis), pyelonephritis, dan prostatitis. Pielonefritis akut biasanya terjadi akibat infeksi kandung kemih asendens. Pielonefritis akut juga dapat terjadi melalui infeksi hematogen. Infeksi dapat terjadi di satu atau di kedua ginjal. Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau refluks vesikoureter. Gejalanya hampir sama dengan ISK bagian atas namun biasanya pyelonephritis disertai nyeri pada pinggang (di lokasi ginjal).
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa infeksi saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
  • Urinalisis
         Leukosuria atau piuria : merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (mm3) (LPB) sediment air kemih. Hematuria : hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis. 
  • Bakteriologis : secara mikroskopis dan cara biakan bakteri.
  • Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik.
  • Hitung koloni : hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari spesimen dalam kateter dianggap sebagai kriteria utama adanya infeksi.
  •  Metode tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase leukosit positif : maka pasien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
Secara umum tujuan terapi infeksi saluran kemih adalah menghilangkan gejala dengan cepat, mengeradikasi bakteri pathogen, meminimalisasi rekurensi dan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan pemberian antibiotik sambil mencari bakteri penyebab.
Terapi tanpa obat pada ISK adalah minum air dalam jumlah banyak agar urine yang keluar juga meningkat. Pengobatan ISK adalah dengan menggunakan antibiotik. Idealnya, antibiotik yang digunakan harus dapat ditoleransi dengan baik, mencapai konsentrasi tinggi dalam urine dan mempunyai spektrum aktivitas terhadap mikroorganisme penyebab infeksi. Pemilihan antibiotik untuk pengobatan didasarkan pada tingkat keparahan, tempat terjadinya infeksi dan jenis mikroorganisme yang menginfeksi.
Penatalaksanaan : Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah pemberian agen antibakterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhadap flora fekal dan vagina. Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas : terapi antibiotika dosis tunggal, terapi antibiotika konvensional : 5-14 hari, terapi antibiotika jangka lama : 4-6 minggu, terapi dosis rendah untuk supresi. Pemakaian antimikrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, faktor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah. Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), terkadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap antibiotik ini. Pyridium, suatu analgesik urinarius juga dapat digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.

I.      Contoh Kasus
Riwayat Penyakit Sekarang :
Ibu M.S berusia 50 tahun, mengeluhkan bahwa akhir-akhir ini jika buang air kecil tidak  lancar (anyang-anyangan), sehingga kadang terasa sakit. Pernah saat BAK, urine disertai darah (hematuria).
Data Pemeriksaan Laboratorium :
Tensi                               : 140/90 mmHg
Suhu tubuh                   : 37oC
WBC                                : 12.109/L
MCV                                : 75 fl
Hb                                    : 10 g/dL
Bakteri pada urin        : 100.000/ml
Riwayat Pengobatan :
Memiliki riwayat alergi terhadap antibiotika golongan penicillin dan resisten terhadap quinolon, karena tidak sembuh dengan terapi antibiotik golongan quinolon.
Penegakkan Diagnosa :
Pertanyaan :
1.       Evaluasi kasus tersebut diatas ?
2.       Bagaimana penatalaksanaan terapi yang cocok untuk kasus tersebut ?
3.       Evaluasilah kerasionalan obat yang anda pilih untuk terapi dari kasus tersebut diatas menurut pedoman 4T 1W ?
II.   Penyelesaian Kasus dengan Metode SOAP
v Subjektif
Nama                       : Ny. M.S
Umur                        : 50 tahun
Jenis Kelamin        : Perempuan
Gejala                                       : Buang air kecil tidak tidak lancar (anyang-anyangan), sehingga kadang terasa sakit, urine disertai darah (hematuria).
Riwayat Pengobatan           : Alergi terhadap antibiotika golongan penicillin dan resisten terhadap quinolon.
v Objektif
Hasil pemeriksaan terhadap data-data klinik pasien tersaji pada tabel di bawah ini :
Jenis Pemeriksaan
Data Pasien
Data Normal
Keterangan
Tekanan Darah
140/90 mmHg
120/80 mmHg
Meningkat
Suhu Tubuh
37oC
37oC
Normal
WBC
12 x 109/L
3,8 - 9,8 x 109/L
Meningkat
MCV
75 fl
80 - 97,6 fl
Menurun
Hb
10 g/dL
12,1 - 15,3 g/dL
Menurun
Bakteri pada urin
100.000/ml
-
Bakteri (+)

v Assessment
Berdasarkan gejala dan pemeriksaan terhadap data klinik pasien maka pasien di diagnosa menderita infeksi saluran kemih bagian bawah (sistitis) dan anemia mikrositik.
v Planning
1)    Tujuan Terapi
Tujuan Terapi Jangka Pendek :
Ø Eradikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih
Ø Menghilangkan gejala dengan cepat
Ø Meningkatkan kadar hemoglobin untuk mencegah keparahan anemia.
Tujuan Terapi Jangka Panjang :
Ø Mencegah terjadinya infeksi ulangan (rekurensi)
Ø Mencegah komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih yang kronis
Ø Mengurangi morbiditas dan mortalitas.
2)    Sasaran Terapi
Ø Eradikasi bakteri penyebab infeksi
Ø Menghilangkan gejala
Ø Mengatasi anemia mikrositik
3)    Strategi Terapi
Terapi Farmakologi :
Ø Kotrimoksazole 2 dd 2 tablet @ 480 mg
Ø Phenazopyridin HCl 3 dd 2 tablet 100 mg (jika perlu)
Ø Ferrofumarat 2 dd 200 mg
Terapi Non Farmakologi :
Ø Minum air putih dalam jumlah yang banyak agar urine yang keluar juga meningkat (merangsang diuresis).
Ø Buang air kecil sesuai kebutuhan untuk membilas mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra.
Ø Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing agar bakteri tidak mudah berkembang biak.
Ø Diet rendah garam untuk membantu menurunkan tekanan darah.
Ø Mengkonsumsi jus anggur atau cranberry untuk mencegah infeksi saluran kemih berulang.
Ø Mengkonsumsi makanan yang kaya akan zat besi, misalnya buah-buahan, daging tanpa lemak dan kacang-kacangan.
Ø Tidak menahan bila ingin berkemih.

PEMBAHASAN KASUS
             Pada kasus ini akan dibahas tentang penatalaksanaan penyakit infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Beberapa orang memang memiliki resiko menderita infeksi saluran kemih lebih besar daripada yang lainnya. Ketidaknormalan fungsi saluran kemih menjadi salah satu penyebabnya. Batu saluran kemih, dan pembesaran prostat akan menghambat pengeluaran urine sehingga mempermudah atau dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari saluran perkemihan yang disebabkan oleh bakteri terutama Escherichia coli, resiko dan beratnya meningkat dengan kondisi seperti refluks vesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen uretral baru, dan septicemia.
          Pada kasus yang diberikan adalah pasien mengeluhkan bahwa akhir-akhir ini jika buang air kecil tidak lancar (anyang-anyangan), sehingga kadang terasa sakit. Pernah saat buang air kecil, urine disertai darah (hematuria). Pasien memiliki riwayat alergi terhadap antibiotika golongan penicillin dan resisten terhadap antibiotik golongan quinolon, karena tidak sembuh dengan terapi antibiotik golongan quinolon. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan tekanan darah : 140/90 mmHg, suhu tubuh         : 37oC, WBC : 12.109/L, MCV: 75 fl, Hb : 10 g/dL, bakteri pada urin : 100.000/ml.
          Penyelesaian kasus diatas dilakukan dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment dan Planning). Berdasarkan keluhan dan gejala serta hasil pemeriksaan laboratorium maka pasien di diagnosa menderita infeksi saluran kemih bagian bawah (sistitis) dan anemia mikrositik.
                Diagnosa infeksi saluran kemih bagian bawah ini ditegakkan berdasarkan gejala yang khas muncul pada ISK bagian bawah yaitu buang air kecil tidak lancar (anyang-anyangan), hematuria, terasa sakit pada waktu berkemih, dan ditemukannya sel darah putih di dalam urin (piuria). Sedangkan diagnosa anemia mikrositik ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar hemoglobin dan MCV (Mean Corpuscular Volume) dimana kadar Hb hanya 10 g/dL (normalnya 12,1-15,3 g/dL) dan MCV 75 fl (normalnya 80-97,6 fl), dimana jika MCV mengalami penurunan hal ini berarti ukuran rata-rata Red Blood Cells kecil (microcytic). Kemungkinan MCV menurun karena individu yang bersangkutan mengalami anemia defisiensi besi (anemia kekurangan zat besi). Anemia ini terjadi karena pasien mengalami hematuria sehingga sel-sel darah keluar bersamaan dengan urin yang keluar.
                Tujuan terapi pada penatalaksanaan terapi ini dibagi menjadi dua yaitu tujuan terapi jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan terapi jangka pendek meliputi eradikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih, menghilangkan gejala dengan cepat, meningkatkan kadar hemoglobin untuk mencegah keparahan anemia. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah terjadinya infeksi ulangan (rekurensi), mencegah komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih yang kronis, mengurangi morbiditas dan mortalitas.
                Sasaran terapi pada infeksi saluran kemih bagian bawah adalah eradikasi bakteri penyebab infeksi, menghilangkan gejala, mengatasi anemia mikrositik. Strategi terapi yang dilakukan meliputi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi yang harus dilakukan pasien untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit antara lain adalah minum air putih dalam jumlah yang banyak agar urine yang keluar juga meningkat (merangsang diuresis), buang air kecil sesuai kebutuhan untuk membilas mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra, menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing agar bakteri tidak mudah berkembang biak, karena wanita memiliki faktor resiko yang besar menderita ISK bagian bawah. Hal ini dikarenakan wanita uretranya lebih pendek (2-3 cm) daripada pria, sehingga kandung kemih mudah dicapai oleh bakteri dari dubur melalui perineum, khususnya basil Escherichia coli. Pasien juga harus melakukan diet rendah garam untuk membantu menurunkan tekanan darah, namun diet ini juga harus dimonitor dengan ketat karena hipertensi yang dialami pasien tidak termasuk kategori parah. Hipertensi yang dialami pasien dapat disebabkan karena proses berkemih yang terhambat sehingga kadar Na di dalam tubuh juga tinggi, sehingga pasien dianjurkan untuk minum air putih yang banyak agar dapat merangsang diuresis dan secara otomatis tekanan darah juga akan berangsur-angsur turun.  Pasien dapat mengkonsumsi jus anggur atau cranberry untuk mencegah infeksi saluran kemih berulang, khasiat jus ini diperkirakan berdasarkan penurunan daya melekat bakteri pada sel-sel epitel dari vagina dan kemungkinan karena peranan kandungan zat aktifnya yaitu hippuric acid.  Mengkonsumsi makanan yang kaya akan zat besi, misalnya buah-buahan, daging tanpa lemak dan kacang-kacangan untuk membantu memulihkan anemia. Dan pasien dianjurkan tidak menahan bila ingin berkemih, karena air kemih yang tertampung dapat menjadi media pertumbuhan yang baik bagi mikroba.
                Sedangkan terapi farmakologi yang diberikan meliputi Kotrimoksazole 2 dd 2 tablet @ 480 mg, Phenazopyridin HCl 3 dd 2 tablet 100 mg setelah makan (jika perlu), Ferrofumarat 2 dd 200 mg.
                Terapi antibiotik dipilih kotrimoksazole karena merupakan antibiotik pilihan untuk ISK bagian bawah (sistitis) dimana belum terjadi komplikasi lanjut dari ISK dan merupakan antibiotik empirik yang digunakan jika bakteri penyebab ISK bagian bawah belum diketahui secara pasti karena kotrimoksazole ini memiliki keefektifan yang tinggi terhadap banyak bakteri aerobik kecuali Pseudomonas.
                Untuk menghilangkan gejala dan keluhan pasien yaitu sering merasa sakit ketika berkemih maka dapat diberikan Phenazopyridine  HCl, yang merupakan zat kimia dimana ketika disekresi ke dalam urin, memiliki efek lokal analgesik. Obat ini sering digunakan untuk mengurangi nyeri, iritasi, ketidaknyamanan, atau keadaan mendesak yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih, operasi, atau cedera pada saluran kemih. Phenazopyridine HCl digunakan dengan tujuan untuk memberikan efek analgesik lokal pada saluran kemih. Obat ini biasanya digunakan bersamaan dengan antibiotik ketika mengobati infeksi saluran kemih. Phenazopyridine bukan golongan antibiotik, tetapi ketika digunakan bersamaan dengan antibiotik dapat mempercepat pemulihan periode awal dari infeksi saluran kemih. Pada  kombinasi kedua obat ini, phenazopyridine digunakan hanya untuk waktu yang singkat (hanya simptomatis), biasanya dua hari sementara itu antibiotik digunakankan lebih lama. Efek samping penggunaan Phenazopyridine HCl adalah dapat menyebabkan perubahan warna berbeda dalam urin, biasanya untuk oranye gelap ke warna kemerahan, perubahan warna urine adalah merupakan efek yang umum dan tidak berbahaya, dan memang indikator kunci keberadaan obat dalam tubuh.
                Terapi anemia mikrositik dapat diberikan Ferro fumarat karena anemia jenis ini disebabkan karena defisiensi besi untuk sintesa hemoglobin (anemia kekurangan zat besi). Anemia ini terjadi karena pasien mengalami hematuria sehingga sel-sel darah keluar bersamaan dengan urin yang keluar. Anemia mikrositik ini bercirikan kadar hemoglobin per eritrosit dibawah normal (hipokrom) dengan eritrosit yang abnormal kecilnya (mikrositer) dan MCV rendah (MCV / Mean Corpuscular Volume merupakan salah satu karakteristik sel darah merah). Tujuan pemberian ferro fumarat adalah untuk menormalisasi kadar Hb, dosis yang diberikan adalah 2 dd 200 mg diminum setelah makan.
                Monitoring yang dilakukan untuk mengetahui keberhasilan terapi adalah monitoring terhadap penggunaan antibiotik,  jika setelah penggunaan antibiotik kotrimoksazole selama 2 minggu (14 hari) kemudian dilakukan evaluasi terhadap terapi, yaitu dilakukan pemeriksaan terhadap kultur bakteri, jika masih terdapat bakteri dengan jumlah >10.000 CFU/ml maka pemberian antibiotik perlu diganti dengan nitrofurantoin. Monitoring terhadap data-data laboratorium seperti tekanan darah, MCV dan hemoglobin, jika dengan pemberian obat belum dapat meningkatkan kadar hemoglobin maka dapat dilakukan transfusi darah dan perlu di dukung dengan terapi non farmakologi. Monitoring efek samping obat yang mungkin timbul selama terapi dijalankan, jika efek samping dari obat yang digunakan tidak dapat ditoleransi maka obat dapat diganti dengan obat lain yang masih satu golongan terapi. Monitoring juga dilakukan terhadap penyakit infeksi saluran kemih (apakah pasien masih terinfeksi), dengan melakukan kultur bakteri di dalam urine, jika dari hasil kultur jumlah bakteri <10.000 CFU/ml maka pasien dinyatakan hanya terkontaminasi dan pada keadaan ini pasien tidak perlu diterapi dengan antibiotik, tetapi jika jumlah bakteri >10.000 CFU/ml maka pasien dinyatakan masih terinfeksi oleh bakteri dan terapi perlu dilanjutkan.
Untuk mengetahui dengan pasti bakteri penyebab infeksi pada saluran kemih bagian bawah dapat dilakukan beberapa pengujian, seperti uji nitrit dan kultur bakteri. Uji nitrit dilakukan dengan strip yang mengandung nitrat yang dicelupkan ke dalam urin. Praktis bakteri Gram negatif dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit yang ditandai dengan perubahan warna, sedangkan bakteri Gram positif tidak terdeteksi. Selain itu, dapat dilakukan kultur bakteri dengan pembiakan lengkap. Dengan mengetahui dengan pasti jenis bakteri penyebab infeksi maka pemilihan antibiotik juga akan lebih spesifik untuk bakteri penyebab infeksi tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009, Infeksi Saluran Kemih, http:www.blogcatalog.com/blog/blognya-ummu-kautsar/ab7a45eb768e3486e0c1a7b232b60f14, di akses November 2009.
Anonim, 2009, Infeksi Saluran Kemih, www.scribd.com/doc/.../INFEKSI-SALURAN-KEMIH, di akses November 2009.
Anonim, 2009, Tips Solution Healths, http://www.conectique.com/tips_solution/health/disease/article.php?article_id=6410, di akses November 2009.
Di Piro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., et all, 2005, Pharmacotherapy : A pathophysiologic Approach, Buku 4, Edisi 6, hal. 1981-1993, Mc Graw Hill Companies, USA.
Ganiswarna, Sulistia G. dkk, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, UI-Press, Jakarta.
Tim Penyusun IONI, 2000, IONI: Informatorium Obat Nasional Indonesia, hal. 301, Depkes RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Tim Redaktur MIMS Indonesia, 2006, MIMS Indonesia: Petunjuk dan Konsultasi, Edisi 6 2006/2007, hal. 83, 273, 346, PT. Infomaster lisensi dari CMPMedica, Jakarta.
Tim Penyusun ISO Farmakoterapi, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana., 2007, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya, Edisi Keenam, PT. Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar